Kota Kupang, IndoSuar.com - Maraknya tindak kekerasan siswa terhadap guru di lingkungan sekolah akhir-akhir ini benar-benar membuat miris sekaligus membuat terkejut banyak pihak. Betapa tidak, guru yang seharusnya dihormati sebagai orang yang berjasa dalam "memanusiakan manusia", tega disakiti dan dilecehkan seperti itu.

Orang lalu bertanya, apakah jaman ini sudah sangat jauh berubah, sehingga guru yang sering dijuluki "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" itu sudah tidak dihormati lagi? Apakah peran seorang guru sudah tidak penting lagi dalam pendidikan dan pembentukan sikap perilaku anak-anak bangsa ini?

Dengan tugas dan tanggung jawab di pundaknya yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga mendidik untuk menanamkan nilai-nilai luhur mencakup nilai etika dan moral serta kemanusiaan, memang pantas guru disebut pahlawan. Namun guru ikhlas tidak mendapat tanda jasa seperti pahlawan kemerdekaan yang berlaga di medan perang. Baginya, melihat anak didiknya sukses menjadi "manusia" saja, sudah cukup membuat ia bahagia dibanding sekedar sebuah plakat tanda jasa di dada.

Mengingat namanya dalam tiap untaian doa, atau sekedar senyuman dan anggukan kepala saat muridnya bertemu sebagai tanda pengakuan atas kebaikannya, seorang guru sudah cukup bahagia.
Tapi mengapa yang diterima oleh guru bukannya pujian dan nama harum yang selalu hadir dalam sanubari muridnya, seperti bunyi baris terakhir lagu Himne Guru?

Peryanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang juga menjadi topik perbincangan hangat dan serius para Kepala Sekolah (Kepsek) Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri dan Swasta se-NTT yang tergabung dalam grup WhatsApp (WA) dalam empat hari belakangan ini.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada Kepsek yang menyorot lemahnya penegakan aturan atau Tata Tertib siswa di Sekolah. Yosef Kono, S.Pd Kepala SMA Negeri 3 Fatuleu, dalam komentarnya menegaskan pentingnya penegakan aturan dan disiplin secara konsisten oleh guru di sekolah. Sebab, jika tidak, anak-anak akan berbuat sesuka hati dan mengabaikan semua aturan dan tata tertib yang berlaku.

"(Guru) Bermain-main dengan aturan di skolah, peserta didik akan mempermainkan (guru dan aturan) kembali," tulisnya dalam komentar WA.
Menanggapi komentar di atas, ada Kepsek yang justru mengkuatirkan penegakan aturan bila tidak dilakukan dengan baik, malah bisa berakibat kontra produktif. Karena itu, disarankan, agar dalam menegakkan aturan, guru perlu memperhatikan metode dan pendekatan yang dipakai.

Ibu Regina Wake, Kepala SMAN 1 Golewa, dalam komentarnya menulis, "Hanya cara pendekatan guru yang perlu dirubah. Tidak harus dengan kekerasan. Hati-hati. Nanti mereka lebih brutal pak. Masih banyak cara (yang lebih efektif) ok...semoga berhasil...," tulisnya dalam komentar.

Sejalan dengan itu, Drs. Seprianus Waang, Kepala SMA Kristen 1 Kalabahi menyoroti pentingnya guru menjaga sikap yang baik dalam berinteraksi dengan anak didik, agar anak didik menghormati gurunya. Karena guru wajib menjadi panutan yang patut digugu dan ditiru.

Jika guru tidak menjaga sikap, maka anak didik tidak akan menaruh hormat. Bahkan ada anak didik yang berani menantang guru berkelahi.
"Pernah disekolah ada anak yang datang dan minta supaya saya izinkan anak tersebut duel dengan guru yang pukul dia di lapangan voly sekolah kami. Saya tanya kenapa seperti itu? Si anak bilang saya tidak terima bapak guru "falungku" (tinju, red) di rahang saya. Kalo tampar saja, saya terima. Selanjutnya saya berusaha nasehat sampai akhirnya dia menangis dan pergi minta maaf di bapak guru tersebut. Selanjutnya saya panggil guru tersebut dan kami bicara dari hati ke hati dan akhirnya mereka sekarang sudah seperti 'bapak dan anak' saja," ujarnya menceritakan pengalaman menangani siswa nakal dengan pendekatan yang tepat.

Dikatakan, itu hanya salah satu dari sejumlah masalah kekerasan yg terjadi di sekolahnya. Karena itu, dirinya mengajak para Kepsek lainnya untuk mendidik anak sedemikian rupa agar kelak menjadi pemimpin bangsa dan menjadi kebanggaan sekolah.

Pembicaraan menyangkut metode penanganan siswa nakal di sekolah oleh para Kepsek SMA NTT pada hari ke-3 sejak merebaknya fakta oknum siswa di Pontianak yang melempari guru Nuzul dengan kursi, Kamis (8/3/2018) lalu, semakin serius. Itu wajar saja. Karena menjadi Kepala Sekolah di Provinsi yang tergolong keras ini, dibutuhkan metode yang berbeda dengan penanganan siswa di daerah jawa tengah, misalnya, yang secara nada dan irama, masyarakat di sana rata-rata lebih halus dan lembut dalam bertutur-kata.

Petrus Pe Mano, S.Pd, Kepala SMAN 1 Sabu Tengah Kabupaten Sabu Raijua (SARAI), secara detil memaparkan analisis tentang penyebab anak menjadi nakal. Menurut Kepala Sekolah berprestasi Kabupaten Sarai tahun 2014 ini, ketika ada anak yang berperilaku nakal, itu adalah gejala hilangnya harapan pada anak itu. Karena itu, peranan guru adalah menjadi pemberi arah kepada/menuju pencapaian harapan itu. 

"Caranya, sentuh hati anak. Jangan hanya sentuh akalnya saja," sarannya.

Lebih lanjut, Kepala Sekolah yang terkenal kritis tapi sangat ramah ini mengungkapkan, walaupun saat berada di sekolah, anak diajari dengan baik oleh guru, tapi jika lingkungan sekitar anak di rumah tidak mendukung, sangat berpotensi untuk anak memberontak dan jahat di lingkungan sekolah.

Karena itu, menurutnya, walaupun terasa berat, guru perlu menerapkan pendekatan kemanusiaan terhadap anak didik. Terutama, bila sekolah berada di lingkungan yang belum sadar benar akan pentingnya pendidikan yang baik serta beratnya tugas dan tanggungjawab guru (baca: sekolah) dalam mendidik dan membentuk watak-kharakter anak.

Menurut Guru yang dikenal vokal ini, guru harus pandai-pandai dalam menangani siswa nakal di lingkungan yang serba sulit dan kurang memadai fasilitas dan sumber belajar.

"Kondisi sekolah jauh dari harapan sebagai lingkungan pendidikan. Guru menjadi korban dari pemerataan kondisi lingkungan sekolah yang tidak sadar pendidikan," imbuhnya dalam komentar WA petang kemarin, Sabtu (10/3/2018).

Menurut Kepala SMAN 1 Sabu Tengah ini, untuk menangani siswa nakal, perlu pengalaman dan "keahlian" khusus.

Melihat fakta bahwa kebanyakan sekolah di daerah-daerah pinggiran bahkan dalam kota yang masih mempekerjakan guru berkualifikasi bukan Sarjana (S1) dan minim pengalaman, tidak mengherankan bila banyak kenakalan siswa di sekolah yang tidak tertangani dengan baik dan dengan pendekatan yang tepat.

Dijelaskan, Guru yang ahli menghadapi kenakalan sangat sedikit. Karena itu kompetensi khusus untuk daerah rawan konflik dan rawan kejahatan perlu dimiliki guru.

Petrus Mano melanjutkan, Kebiasaan yang salah dalam pola interaksi guru dan siswa menjadi penyebab "suburnya" kenakalan siswa di sekolah. Karena itu, disarankan, kebiasaan baik dapat ditumbuh-kembangkan dengan pola keteladanan guru pada anak didik yang penuh perhatian dan kasih sayang.

Senada dengan itu, Drs. Yosep Obe, Kepala SMAN 1 Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), juga menekankan pentingnya keteladanan dalam pembentukan kharakter anak didik. Karena itu, dirinya tidak sependapat bila guru terlampau reaktif dalam menanggapi perilaku anak yang sampai memukul guru.

Sebaliknya, guru mesti menghindari tindakan dan sikap yang justru tidak menunjang pembentukan kharakter anak yang baik. Baginya, tidak perlu sampai guru melakukan aksi mogok bila harga dirinya terusik.

"Kata 'Mogok' SANGAT kontradiktif dengan Pendidikan KARAKTER, karena itu kata itu tidak boleh muncul dari mulut seorang PENDIDIK. Masih ada banyak cara untuk menyuarakan pikiran kita terkait tugas GURU (yakni) mengajar dan mendidik," ungkapnya.

Senada dengan pendapat rekan-rekan Kepsek terdahulu, Antonius Djemadi, S.Pd, Kepala SMA Katolik Sint Karolus Penfui Kupang, menyorot perlunya introspeksi diri pihak guru dalam menangani siswa nakal selama ini. Apakah guru sudah bersikap dengan pantas terhadap siswa atau tidak.

Menurut Tony, Sapaan akrab pria kelahiran Ketang, Kabupaten Manggarai Timur ini, sikap dan tindakan guru yang salah dalam interaksi dengan anak didik bahkan bisa berakibat fatal.

Dengan tidak bermaksud menyudutkan almarhum Ahmad Budi Cahyanto (27), Guru seni rupa SMAN 1 Torjun (SMATor) Sampang Madura yang tewas dianiaya muridnya, Tony Djemadi berandai-andai, jika saja sang guru lebih sabar dan bijak dalam bereaksi terhadap muridnya yang tertidur di kelas saat itu, mungkin peristiwa naas itu tidak akan pernah terjadi.

"Coba kalo pak Budi membangunkannya dengan cara yang baik layaknya Bapak membangunkan anak kandungnya, saya kira kejadianya tidak seperti itu. Lalu guru yang sekarang didiskusikan dilempari kursi oleh siswanya karena apa? Tentu (karena) ada aksi sebelumnya yang membuat siswa tersebut tidak terima. Jadi teori 'cause and effect' atau Teori 'Tabur Tuai' di sini harus dilihat. Kalo guru kita mendidik dengan cara kasar, pasti anak akan menjadi kasar (juga). Dalam situasi tertentu apabila perasaannya dilukai, pasti dia akan kasar tanpa melihat lagi dia itu gurunya atau siapa. Jadi segala sesuatu itu tergantung kita guru. Apakah guru-guru kita sdh patut ditiru dan digugu?", tanya Tony Djemadi retoris.

Seperti diikuti IndoSuar.com, percakapan hangat para Kepala SMA se-NTT di Grup WA pada hari ke-4, Minggu (11/3) hari ini, menyikapi peristiwa guru Nuzul yang dipukul siswanya pakai kursi plastik di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat Kamis (8/3/2018) masih terus berlanjut.

Jelas nampak para Kepsek sangat peduli terhadap nasib rekan sejawat yang mendapat perlakuan kurang pantas oleh anak didiknya itu. Entah penyebabnya karena penegakan disiplin yang belum maksimal. Atau lingkungan sekitar tempat tinggal anak yang kurang mendukung, atau pun guru yang belum cukup "ahli" dan minim pengalaman dalam menangani anak nakal di sekolah, yang jelas tugas kepala sekolah dan guru tidaklah mudah.

Di pundak Kepala sekolah dan guru sudah terlanjur dititipkan sejuta harapan orangtua dan masyarakat agar anaknya bisa dibentuk. Bagaikan kertas kosong, para guru dan kepala sekolah punya hak sekaligus pilihan untuk menulisi pikiran dan hati tiap anak yang dititipkan.

Walau kadang sejuk, kadang panas hawa ruang diskusi para Kepsek di Grup WA, seperti disaksikan wartawan media ini, mereka tetap punya satu rasa dan asa: senasib sepenanggungan, terpanggil untuk melayani, memanusiakan manusia Indonesia.

Walaupun terkadang harga dirinya harus terusik bahkan terinjak-injak, mereka rela, demi asa yang satu. Mereka tidak akan pernah berhenti. Mereka akan terus menulis, mengukir dan memoles "kertas kosong" itu sampai saatnya menjadi ukiran dan lukisan indah berbauh harum yang akan dipersembahkan pada Ibu Pertiwi. (Mann).